PRRI: DARI REUNI MENJADI REVOLUSI

 

PRRI: DARI REUNI MENJADI REVOLUSI

Oleh: Mursal Y


Dewasa ini kita sering mendengar atau mungkin mengikuti kegiatan reuni. Kegiatan untuk bertemu-temu kembali dengan teman-teman lama dan sudah cukup lama terpisahkan oleh berbagai faktor. Apakah itu teman-teman lama sesama sekolah dulu atau teman-teman sesama tempat kerja dan tugas pada waktu lalu.  Begitu juga dengan peristiwa besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa besar di awal kemerdekaan Indonesia yang kemudian dikenal dengan PRRI terjadi diawali oleh sebuah kegiatan reuni.

PRRI, peristiwa pergolakan daerah yang terjadi pada tahun 1958 – 1961 diawali oleh kegiatan reuni oleh bekas anggota Devisi Banteng  pada tanggal 22 Februari 1956 di Studio Persari Jakarta. Devisi Banteng adalah satuan dari tentara yang beerjuang pada perang kemerdekaan Indonesia di Sumatera Tengah, (Sekarang Sumatera Tengah telah dimekarkan menjadi Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepri). Devisi Banteng dibubarkan pada tahun 1948 sebagai dampak dari program RERA (Rekontruksi dan Rasionalisasi) pemerintah waktu itu. Pemerintah di masa Kabinet Hatta berusaha mengurangi beban ekonomi Negara terutama dalam menggaji pegawai dan tentara. Upaya penanggulangan beban Negara ini Hatta menjalankan program RERA merasionalisasi dan merekonstruksi jumlah dan struktur tentara.  Tentara yang sebagian besar berasal dari kalangan laskar-laskar perjuangan dan dianggap tidak profesional dikembalikan ke pekerjaan sipil sebelumnya. RERA menjadikan militer Indonesia di isi oleh tentara professional dan jumlah satuan dikurangi dengan membubarkan beberapa devisi. Salah satu devisi yang dibubarkan adalah Devisi Banteng.  Anggota Devisi Banteng yang lulus seleksi dilebur atau digabungkan ke devisi lain yaitu Devisi Sliwangi.

22 Februari 1956 sejumlah bekas anggota Devisi Banteng mengadakan reuni atau pertemuan di Studio Persari Jakarta. Reuni bertujuan untuk membicarakan nasib sebagian bekas anggota Devisi Banteng yang hidupnya terlantar. Pembicaraan yang semula membicara nasib teman-teman mereka yang terlantar akhirnya meluas ke isu-isu nasional yang berkembang saat itu. Peserta reuni membicarakan dan membahas perkembangan ekonomi dan pembangunan yang hanya tertuju untuk pulau Jawa sementara daerah tidak tersentuh pembangunan termasuk Sumatera Tengah.  Peserta reuni berkesimpulan bahwa untuk membangun daerah Sumatera Tengah tidak mungkin menggantungkan harapan kepada pemerintah pusat. Pembangunan Sumatera Tengah akan dilakukan sendiri dengan cara menggali potensi dan kekayaan yang dimiliki serta menuntut otonomi yang seluas-luasnya kepada pemerintah pusat. Pembangunan daerah akan dilakukan di bawah koordinasi sebuah dewan yang kemudian diberi nama dengan Dewan Banteng yang diketuai oleh Letkol Ahmad Husein.

                                                               Letkol.Ahmad Husein

Dewan Banteng menuntut kepada pemerintah pusat untuk menempatkan putra-putra daerah terbaik menempati jabatan-jabatan penting di Sumatera Tengah. Tuntutan ini didasarkan pada alasan bahwa putra daerah lebih mengetahui kebutuhan daerahnya. Tuntutan ini disampaikan oleh Dewan Banteng karena pada waktu itu jabatan-jabatan penting di daerah diisi oleh orang-orang pemerintah pusat. Pengisian jabatan-jabatan penting di daerah oleh pemerintah pusat menurut Feit telah menimbulkan kegusaran di daerah-daerah.

Guna memperjuangkan tuntutanya Devisi Banteng mengutus delegasi Sumatera Tengah untuk menemui pemerintah pusat. Delegasi Dewan Banteng beranggotakan A Hali, Dahlan Ibrahim, Sidi Bakruddin, Kol. Dahlan Djambek, berhasil menemui Perdana Mentri Ali Sastro Amidjojo 22 November 1956, 24 November 1956 berhasil menemui Muhammad Hatta dan AK Pringgodigdo. Delegasi tidak berhasil menemui Presiden Soekarno, karena presiden menyerahkan permasalahan kepada Perdana Mentri. Pada awalnya tuntutan otonomi daerah mendapat respon baik dari pemerintah pusat, namun kemudian tuntutan tersebut tidak bisa dipenuhi karena terjadinya peristiwa Cikini dan pengambil alihan pemerintah di Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo oleh Dewan Banteng. Pengambil alihan pemerintah oleh Dewan Banteng dianggap oleh pemerintah pusat sebagai bentuk tindakan inskonstitusional.

Pengambil alihan pemerintahan yang dilakukan oleh Dewan Banteng berakibat terjadinya ketegangan hubungan  Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat.  Pemerintah mengirim utusan untuk menemui Dewan Banteng di Sumatera Tengah.  Delegasi pemerintah pusat yang dipimpin oleh Menteri Pertanian Eny Karim gagal menemui pimpinan Dewan Banteng. Kedatangan romobongan Eny Karim di Bandar udara Tabing Padang disambut dengan lemparan batu oleh masyarakat.

Sebelum mengirim Menteri Pertanian Eny Karim pemerintah juga telah mengirim utusan ke Sumatera Tengah di bawah pimpinan Zainal Burhanuddin.  Delegasi yang dipimpin oleh Zainal Burhanuddin memberikan laporan kepada pemerintah pusat bahwa kegiatan Dewan Banteng tidak  membahayakan stabilitas nasional karena kegiatan Dewan Banteng lebih banyak  tertuju untuk pembangunan daerah dari masalah politik.

Ketegangan hubungan pemerintah pusat dengan daerah Sumatera Tengah semakin menghangat setelah sejumlah pemimpin nasional yang menyuarakan kepentingan daerah kepada pemerintah puast bergabung dengan Dewan Banteng. Pemimpin-pemimpin nasional yang menyuarakan kepentingan daerah antara lain M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap. Para tokoh nasional tersebut bertolak ke Padang dan bergabung dengan gerakan yang dilakukan oleh Dewan Banteng. Keberangkatan tokoh-tokoh nasional ke Padang juga didorong karena tekanan yang mereka terima dari pemuda-pemuda radikal atas sikap mereka yang tidak setuju dengan tindakan pemerintah mengambil alih sejumlah perusahaan asing.

 Bergabungnya sejumlah tokoh nasional yang notabenenya tokoh-tokoh politik Islam dengan Dewan Banteng membuat gerakan Dewan Banteng menjadi lebih revolusioner.  Pada tanggal 10 Februari 1958 dalam sebuah rapat raksasa di Padang, ketua Dewan Banteng, Ahmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat. Ultimatum yang disampaikan Dewan Banteng adalah:

1.    Dalam waktu 5 X 24 Jam Kabinet Djuanda harus menyerahkan jabatanya kepada prisiden atau pejabat presiden, presiden atau pejabat presiden mencabut mandat kabinet Djuanda

2.    Presiden atau pejabat presiden memberi tugas kepada Muhammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX untuk membentuk zaken cabinet terdiri dari tokoh-tokoh yang jujur, berwibawa, cakap, cerdas dan bebas dari anasir antituhan

3.    Meminta kepada Drs. Muhammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX untuk menyediakan diri menolong Negara dan bangsa

4.    Meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan lainnya untuk mengizinkan Muh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX menyelamatkan bangsa dan Negara

5.    Meminta kepada presiden untuk kembali kepada kedudukanya sebagai presiden konstitusi dengan membuktikanya dengan kata-kata dan perbuatan dan memberi kesempatan sepenuhnya kepada Muh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX untuk melakukan kewajibanya sampai pemilihan umum mendatang

Ultimatum Dewan Banteng dibahas  pada siding cabinet 11 Februari 1958. Sidang yang dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda menolak semua tuntutan Dewan Banteng. Sebagai tindak lanjut dari sidang kabinet Markas Besar Angkatan Darat memberhentikan dengan tidak hormat Dahlan Djambek, Lubis dan Simbolon dari militer. Pemberhentian dengan tidak hormat ini juga diikuti keluarnya surat perintah penangkapan kepada mereka dari Panglima TNI, Jenderal AH Nasution 12 Februari 1958.  Tanggapan pemerintah pusat terhadap ultimatum Dewan Banteng dijawab oleh Dewan Banteng dengan mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 15 Februari 1958 di Bukittinggi. Dewan Banteng juga mengumumkan Sjafruddin Prawuranegara sebagai Perdana Menteri PRRI.

Pengumuman berdirinya PRRI mendapat sambutan dan dukungan dari rakyat Sumatera Tengah. Dukungan yang diberikan oleh masyarakat ini tidak terlepas dari kekecewaan mereka terhadap pemerintah pusat yang mengabaikan pembangunan dan ekonomi daerah selama ini.  Pengumuman beridirnya PRRI ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan tokoh-tokoh yang terlibat PRRI pada tanggal 16 Februari 1958.  Keluarnya surat perintah penangkapan tokoh-tokoh PRRI 16 Februari 1958 menandai bangsa Indonesia mulai berada dalam kancah perang saudara. Perang antara pemerintah pusat dengan daerah Sumatera Tengah. Pemerintah pusat mengirim pasukan militer ke Sumatera Tengah untuk menumpas PRRI.

Perang saudara dalam usaha memadamkan PRRI memakan waktu yang cukup lama dan korban baik jiwa, moril, sosial dan materil yang cukup banyak. Pemberontakan PRRI diakhiri dengan keluarnya amnesti umum oleh pemerintah pusat bagi mereka yang terlibat. Para tokoh yang terlibat dengan PRRI diminta untuk kembali kepada ibupertiwi dan mereka diberi amnesti dan tidak dilakukan tindakan.

 

Demkian tulisan pendek ini,

Tulisan berikutnya saya akan coba membahas tentang kondisi sosial masyarakat Sumatera Tengah, khususnya Minangkabau di masa perang saudara, PRRI

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA KE NUSANTARA

                                         PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA KE NUSANTARA   Oleh: Mursal Y    ...