PESAWAT AVRO
ANSON:
PESAWAT
ANGKUT MULTIFUNGSI MILITER PERTAMA
REPUBLIK
INDONESIA:
POWER OF AMAI - AMAI
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17
Agustus 1945 membutuhkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Dukungan dari
rakyat akan diperoleh kalau kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dalam
menghadapi Belanda diketahui dan dipahami oleh rakyat. Kebijakan yang akan
diambil pemerintah antara lain mendapat dukungan keuangan dari rakyat. Dukungan
keuangan dari dari rakyat sangat dibutuhkan untuk modal perjuangan dan
pembelian senjata dalam rangka menghadapi kemungkinan Belanda melancarkan
agresinya.
Kondisi yang dihadapi negara dalam menghadapi
berbagai tindakan aggresor Belanda merupakan hal melatarbelakangi perjalanan Muhammad
hatta ke sumatera pada tahun 1947. Misi Muhammad Hatta, wakil presiden, ke Sumatera adalah untuk bertemu dengan
tokoh-tokoh perjuangan dan rakyat menjelaskan kondisi Negara dan kebijakan yang
akan diambil dalam menghadapi Belanda. Muhammad hatta mempersiapkan sumatera
sebagai basis perlawana rakyat dalam menghadapi Belanda apabila Jawa terus
ditekan dan jatuh ke tangan pasukan Belanda.
Misi Hatta di Sumatera dimulai dari Aceh,
terus ke Sibolga kemudian ke kampung halamannya di Bukittinggi. Perjalanan Muhammad
Hatta di Sumatera mendapat sambutan hangat dan dukungan dari para tokoh-tokoh
pejuang dan rakyat di setiap daerah yang dikunjunginya. Saat Muhammad Hatta
sampai di Bukittinggi, Hatta memilih untuk beristirahat dan mengkonsilidasi
dukungan para pejuang, ulama dan rakyat di kampung halamanya sendiri. Muhammad
Hatta menjalankan misi pemerintahannya di Bukittinggi dengan berkantor di Istana
Tri Arga dekat Jam Gadang Bukittinggi,
sekarang gedung tersebut diganti namanya dengan Istana Bung Hatta.
Langkah pertama Muhammad Hatta di Bukittinggi
adalah membentuk panitia pengumpul emas pada tanggal 27 September 1947. Panitia
pengumpul emas ini diketuai oleh Mr. A Karim,
direktur Bank Negara. Panitia pengumpul
emas ini bertujuan untuk mengumpulkan sumbangan emas dari rakyat Bukittinggi
dan Minangkabau guna membeli sebuah pesawat tempur.
Setelah membentuk panitia pengumpul emas,
Hatta berkeliling nagari menemui para ulama dan tokoh-tokoh pejuang. Hatta
menyampaikan misi dan tujuannya ke Bukittinggi, yaitu menghimpun dukungan dan
dana untuk perjuangan mempertahankan kemrdekaan Indonesia. Dana yang dikumpulkan
dalam bentuk emas akan dibelikan pesawat tempur dan persenjataan.
Sebuah pertanyaan mungkin timbul dibenak
kita, mengapa Hatta memiliki ide mengumpulkan dana rakyat dalam emas bukan uang
atau yang lainnya ?
Beberapa alas an dapat dikemukan:
Pertama sebagaimana diketahui bahwa
permaslahan ekonomi Indonesia di awal kemerdekaan sangatlah sulit. Terjadinya hiper inflasi akibat banyaknya
mata uang yang beredar. Mata uang gulden Belanda diberlakukan kembali oleh
NICA, mata yang Jepang tetap dapat menjadi alat tukar yang sah sementara
pemerintah juga mengeluarkan ORI (Oeang Republik Indonesia ) sebagai alat tukar.
Sebagai seorang ekonom Hatta tentu memahami bahwa nilai mata uang saat itu
sangat rendah.Nilai mata uang yang sangta rendah menjadi semakin tidak bernilai
untuk gunakan untuk membeli pesawat tempur dan senjata dengan menggunakan kurs
asing.
Sebagai orang Minang Hatta paham betul bentuk
kearifan local masyarakat Minang dalam menyimpan kekayaan. Orang Minang suka
menyimpan kekayaan dalam bentuk emas, baik dalam bentuk perhiasan maupun emas
yang di simpan. Di Minangkabau emas yang disimpan ada dalam bentuk Rupiah emas,
Uang suku, Ringgit emas, Masyarakat Minang dalam sistem ekonomi termasuk
masyarakat yang merkantilis. Patokan benda-beda berharga dan kekayaan dinilai
dari emas.
Sebagai putra Minangkabau Hatta tau betul
kalau di masyarakat Minangkabau kekayaan itu tersimpan pada kaum perempuan atau
dalam konsep Minang pada kaum bundu
kanduang. Kaum perempuan yang disebut dengan bundo kanduang di Minang diungkapkan dalam falsafah Minang yang
berbunyi Bundu Kanduang kunci biliak puro
nan dalam. Maksudnya perempuan itu
merupakan orang yang bertugas dan berfungsi menyimpan dan menjaga kekayaan
keluarga.
Puncaknya adalah saat Hatta berpidato dalam
sebuah rapat akbar di lapangan kantin Bukittinggi. Lapangan kantin bagi
masyarakat Bukittinggi khususnya, masyarakat Sumatera Barat umumnya sampai
sekarang sangat familiar, yaitu lapangan wirbraja milik TNI. Rapat akbar yang dihadiri ribuan masyarakat
Hatta menyemangati dan menyampaikan kepada rakyat bahwa saat itu Negara sedang
membutuhkan bantuan dan dukungan dari rakyatnya untuk melawan Belanda. Pada
rapat akbar tersebut dilakukan penggalangan dana. Kaum ibu atau dalam masyarakat
Minang disebut dengan amai-amai, yang
tergugah dan tergerak oleh pidato Hatta dengan ikhlas melepas perhiasan emas
yang melekat di tubuh mereka untuk diberikan sumbangan kepada Negara. Perhiasan
emas burupa cincin, kalung dan subang dilepas dan dimasukan ke wadah yang
diedarkan dalam pertemuan.
Sumbangan emas dari amai-amai waktu itu terkumpul 1 kaleng biskuit atau diperkirakan
beratnya lebih dari 14 kg emas. Emas yang terkumpul ini kemudian diserahkan
oleh A Karim kepada Hatta. Emas ini digunakan untuk membeli sebuah pesat angkut
militer multifungsi Avro Anson yang dikemudian diberi nomor register Avro
Anson RI-003. Pesawat Avro Anson dibeli di Thailand dari warga Negara Australia
bernama Paul Keegan, mantan penerbang RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris).
Pesawat ini didatangkan langsung oleh Keegan
ke lapangan udara Gadut Bukittinggi.
Pesawat Avro Anson ini kemudian diawaki oleh
pilot Halim Perdana Kusuma dan ko-pilot Iswahyudi. Halim Perdana Kusumo dan Iswahyudi
menerbangkan pesawat Avro Anson menembus blockade Belanda untuk mendapatkan dukungan
dari Singapura dan Siam (Thailand) serta
membeli persenjataan untuk menghadapi agresi militer Belaanda. Peswat Avro Anson dalam menjalankan misinya
ditembak jatuh oleh Belanda di Tanjung Hantu Malaysia. Pada peristiwa ini kedua
awak pesawat, Halim Perdana Kusuma dan Iswahyudi gugur dan terkubur dengan
pesawat Avro Anson di dasar laut tanjung Hantu.
Halim Perdana Kusuma dan Iswahyudi bagi bangsa Indonesia kemudian ditetapkan
sebagai pahlawan nasional dan nama kedua syuhada tersaebut diabadikan menjadi
nama pangkalan udara TNI, Pangkalan udara Halim Perdana Kusumo di Jakarta dan Pangkalan
udara Iswahyudi di Jawa Timur
Sangat bermanfaat
BalasHapus