SURAU: INSTITUSI LOKAL DALAM
PERKEMBANGAN
ISLAM DI MINANGKABAU
Oleh: Mursal Y,
S.Pd *
A.
PENDAHULUAN
Islam masuk ke
Minangkabau sejalan dengan perkembangan jalur perdagangan Nusantara. Sebagai
banda perdangan, Selat Malaka sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam
. Dikuasainya Malaka oleh Portugis tahun 1511 berpengaruh terhadap jalur
perdagangan di nusantara. Para pedagang Islam yang selama ini berdagang di
Selata Malaka mengalihkan jalur perdagangan mereka dari Selat Malaka ke pantai
Barat Sumatera.
Beralihnya jalur
perdangan ke pantai barat Sumatera berdampak
berkembangnya sejumlah Bandar perdagangan baru di pantai barat sumatera.
Perkembangan Bandar perdagangan tersebut secara tidak langsung membawa pengaruh
terhadap perkembangan agama Islam di sepanjang Bandar perdagangan
tersebut. Masyarakat sepanjang pesisir
barat sumatera yang melakukan kontak dagang dengan pedagang Islam akhirnya
terpengaruh oleh budaya dan agama yang dibaya oleh para pedang tersebut.
Pengaruh inilah yang menyebabkan masuk dan berkembangnya agama Islam di pantai
barat sumatera, tidak terkecuali Minangkabau.
Pengaruh aktivitas
perdagangan ini yang mneybabkan mengapa daerah pesisr barat Minangkabau yang
pertama mendapat pengaruh Islam. Islam yang masuk ke Minangkabau melalui daerah
pesisir barat, tepatnya bandar perdagangan di daerah Pariaman akhirnya menyebar
ke daerah pedalaman.
*penulis
adalah Guru Sejarah SMA N 1
Ampek Angkek Kab. Agam
Sehingga dalam pepatah adat Minangkabau
dikenal istilah adat manurun, syarak
mandaki. Maksud dari pepatah adat tersebut adalah aturan adat Minangkabau menyebar dari daerah pedalaman
menyebar ke daerah pesisir, sementara agama atau dikenal dengan istilah syarak menyebar dari pesisir ke
pedalaman.
Sebagai gambaran, masyarakat
Minang membagi wilayah mereka atas dua kelompok besar. Kedua kelompok tersebut
dikenal dengan sebutan daerah Darek dan
daerah Rantau. Darek adalah
daerah utama Minangkabau yang terdiri dari tiga daerah. Pembagian daerah utama
ini dikenal dengan istilah luhak.
Ketiga daerah utama tersebut adalah Luhak
Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah Kota. Sementara daerah Minangkabaua yang lainnya
disebut dengan daerah rantau. Pariaman atau dalam bahasa daerah adajuga yang
disebut dengan Piaman merupakan salah
satu daerah rantau Minangkabau yang terletak di pesisir barat Sumatera.
B.
Surau Sistem Kehidupan Sosial
Minangkabau
Surau merupakan sebuah
institusi sosial masyarakat Miangkabau yang memiliki pengaruh dalam
pembentukkan karakter masyarakat. Struktur masyarakat minangkabau yang
menganut sistem matrilineal telah membudaya bahwa laki-laki yang telah baligh pada malam
hari hidup terpisah dari rumahnya. Anak laki-laki yang sudah baligh tidak lagi tidur
di rumah orangtua melainkan mereka tidur di surau-surau yang ada di nagari.
Merupakan Aib bagi seorang laki-laki Minang yang sudah baligh kalau masih tidur
di rumah orangtuanya apalagi kalu dia mempunyai saudara perempuan. Oleh karena itu, sebelum Islam masuk ke Minangkabau,
telah ada semacam surau yang di pergunakan sebagai tempat berkumpulnya
laki-laki lajang yang sudah baligh.
Ssistem adat Minangkabau yang mentabukan anak laki-laki yang
sudah baligh tidur di rumah orangtua mereka, melahirkan komunitas baru dalam
kehidupan mereka. Anak laki-laki Minangkabau pada malam hari akan berkumpul
pada komunitas baru yang disebut dengan surau.
Di surau ini akan berkumpul laki-laki
yang seumur dan menjalin interaksi sesame mereka. Mereka yang berkumpul di surau-surau tersebut tidak hanya bereka
yang belajar alqur’an atau yang belajar ilmu agama saja melainkan juga para
pemuda yang hanya untuk tidur dan bermalam.
Fungsi Surau yang
seperti ini sebagaiman yang diungkapkan oleh Azyumardi (2010), surau di Minangkabau setidaknya menurut
memperlihatkan tiga tipologi (1) history of daily life (sejarah
kehidupan sehari-hari) yang indah, (2) social movement (gerakan
sosial) yang dinamis, dan (3) basis pendidikan dan kebudayaan
masyarakat, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum
meliputi pendidikan sosial/ adat maupun ekonomi dan politik.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Azyumardi tersebut, maka
di surau akan terjadi interaksi dan
komunikasi yang melibatkan komunitas laki-laki Minangkabau baik yang sedang menempuh
pendidikan agama maupun dengan yang hany sekedar bermalam di sana. Hal ini
dapat terjadi dikarenakan kaum laki-laki yang belajar agama juga ikut bermalam
di surau.
Fungsi surau yang
tidak hanya sebagai lembaga pendidikan agama di Minangkaua, melainkan juga
sebagai lembaga sosial dan budaya menjadi surau
sebagai lembaga multi fungsi dalam membentuk karakter dan budaya masyarakat
Minangkabau. Di surau tidak hanya
mengkaji ajaran-ajaran agama tetapi juga terjadai pembahasan dan pewarisan
nilai-nilai sosial dan adat kebudayaan Minangkabau. Pembahahan nilai-nilai
sosial dan adat biasanya dilakukan setelah proses belajar al-qur’an dan
pendidikan agama selesai delaksanakan.
C. Peran Surau Dalam Penyebaran Ajaran
Islam
Menurut Muhammad Yunus , susrau
telah ada sebelum masuknya Islam ke Minangkabau. Kata-kata surau dalam pengertian etimologi
berasal dari Bahasa Sanskerta yang berasal dari kata-kata “Suro”, diartikan
sebagai “tempat penyembahan”.
Di zaman Hindu-Buda surau berfungsi tempat penyembahan dan setelah Islam
masuk ke Minangkabau surau mengalami
peningkatan fungsi. Syekh Burhanuddin menfungsikan surau sebagai tempat
melaksanakan shalat dan pendidikan tharekat (suluk), dengan cepat biasa
tersosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat minangkabau. Posisi surau
kemudian mengalami perkembangan. Selain fungsinya di atas, surau juga menjadi
tempat berkumpulnya anak laki-laki yang telah baligh dan persinggahan bagi para
perantau.(Muhammad Yunus.1962)
Peningkatan fungsi surau seperti yang disampiakan oleh
Muhamad Yunus di atas sangat berpengaruh terhadap proses perkembangan Islam atau
islamisasi di Minangkabau. Berkumpulnya sejumlah anak laki-laki dan para
perantau yang singgah dan bermalam di surau-surau
menjadikan proses islamisasi lebih mudah terjadi. Hal ini dikarenakan proses
dakwah dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam dengan sendirinya akan terjadi
kepada orang-orang yang menjadikan surau tempat berkumpul mereka.
Fungsi surau yang
tidak hanya sebagai lembaga pendidikan Islam tradisonal melainkan juga sebagai
tempat pembentukkan karakter dan pewarisan nilai-nilai adat dan budaya
menjadikan agama Islam dengan cepat berkembang di Minangkabau. Seperti yang
diungkapkan oleh Abdi dalam bukunya
“Almadlehal” yang dikutip oleh Rosy
Finta, menyatakan bahwa surau atau
masjid merupakan tempat terbaik untuk
kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam surau ini akan
terlihat hidupnya sunah-sunah Islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah, mengembangkan
hukum-hukum Tuhan, serta menghilangkan stratifikasi rasa dan status ekonomi
dalam pendidikan.
Fungsi surau seperti yang diuraikan di atas terjadi
dikarenakan letak dan peran surau di Minangkabau. Surau dibangun di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Surau di Minangkabau tidak terisolasi
atau bukan lembaga yang ekslusif bagi masyarakat Minangbau. Surau berada dan menyatu dengan kehidupan masyarakat Minangkabau.
Setiap nagari di Minangkabau akan mempunyai satu subuah surau bahkan untuk
beberapa nagari ada yang mempunyai lebih dari satu surau.
Setiap surau di
Manangkabau sering dinamai dengan nama nagari tempat surau itu berada dan nama
itupun melekat sebagai penghormatan tehadap guru besar (guru yang mendirikan surau tersebut). Cara penamaan surau
adalah dengan menambahkan kata inyiak atau
tuanku. Misalnya Surau Inyiak Canduang, surau Inyiak Parabek, surau tuanku rao dan
lain sebagainya. Surau Inyiak Canduang,
misalnya, adalah surau yang didirikan
oleh Syekh Ar-Rasuli di Kenagarian Canduang Luak Agam. Pemberian kata inyiak merupakan sebuah sebutan
penghormatan yang memuliakan terhadap tokoh atau guru yang mendirikan surau tersebut.
Keberadaan surau
yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Minangkabau membawa dampak
terhadap penyebaran ajaran-ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Aktivitas
pendidikan dan dakwah yang terjadi di surau-surau
bukanlah sebuah aktivitas tertutup yang hanya boleh diikuti oleh murid-murid
yang menuntut ilmu di sana, melainkan sebuah aktivitas terbuka yang dapat
diikuti oleh setiap orang dan semua kalangan. Masyarakat yang ada di sekitar
surau atau bahkan masyarakat lain, para perantau, musyafir mempunyai akses dan
kesempatan terbuka untk mengikuti aktivitas pendidikan dan dakwa yang terjadi
di surau-surau.
Surau dari segi komunitas yang terlibat
di dalamnya secara sederhana dapat kita bedakan atas dua. Pertama surau nagari atau kampong. Yaitu surau-sura yang berada di sebuah nagari
dimana yang datang belajar ke sana adalah masyarakat di sekitar nagari
tersebut. Di surau-surau nagari ini
yang dipelajari adalah membaca al-qur’an dan ilmu-ilmu agama dasar lainnya
seperti tata cara dan rukun shalat, puasa, zakat dan ilmu agama dasar lainnya
yang dibutuhkan dalam kehidupan seharihari.
Di Surau-surau
nagari ini menggeliat aktivitas islamisasi di nagari tersebut. Proses belajar al-qur’an akan berlangsung
selesai shalat magrib menjelang isya.
Selesai Shalat isya kaum ibu dan anak perempuan akan pulang ke rumah
mereka masing-masing, sementara anak laki dan para pemuda akan tetap tinggal
dan bermalam di surau. Diwaktu
selesai shalat isya menjelang tengah mala mini
akan berlangusng proses pendidikan terhadap ilmu-ilmu dasar agama.
Surau yang berskla lebih besar, yaitu surau yang tidak hanya didatangi oleh
masyarakat nagari tempat surau itu berada melainkan juga didatangi oleh
murid-murid dari berbagai nagari di Minangkabau bahakan ada yang berasal dari
luar Minangkabau. Surau tipe ini di
antaranya surau inyiak candung, surau
inyiak parbek, surau rao-rao, surau buya balubuih, dan masih banyak yang
lainnya. Pada surau jenis ini ilmu
agam yang diajarkan sudah sangat komplek, tidak hanya belajar membaca al-qur’an
melainkan mempelajarai sejumlah ilmu dan hokum-hukum Islam lainnya, mulai dari
maslah Tauhid sampai masalah sosial, ekonomi dan kemsayarakatan.
Pada surau tipe
kedua ini murid-murid yang dating dari luar nagari selain tinggal dan tidur di surau ada juga mereka yang tinggal di
rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar surau.
Murid yang tinggal di rumah-rumah penduduk ini juga berpengaruh positif dalam
perkembangan islam di Minangbau. Murid-murid tersebut secara tidak langsung
akan menjadi agen islamisasi terhadap masyarakat tempat mereka bermukim. Atau
sebaliknya penduduk yang di sekitar surau
yang bermukim murid-murid sebuah surau
akan menerima pengaruh dari apa yang didapat dari murid-murid tersebut. Dalam
kata lain kondisi yang seperti ini akan membantu penyebaran ajaran-ajaran Islam
di tengah-tengah masyarakat.
Murid-murid luar daerah ini biasanya setelah selesai
menempuh pendidikan di surau-surau
besar saat pulang ke kampung halaman mereka akan mendirikan surau-surau baru. Sehingga pertumbuhan surau di Minangkabau terjadi sangta
cepat dan merata hamper di semua nagari. Sangat sulit kita menemukan setiap
nagari di Minangkabau yang tidak mempunyai satu atau lebih surau. Surau-surau yang
didirikan oleh murid-murid tersebut biasanya tetap beraviliasi dengan surau tempat sang murid belajar
sebelumnya.
Proses belajar ke surau-surau
guru yang memiliki nama besar sangat banyak kita temukan di Minangkabau bahkan
tidak jarang kita menemukan seorang murid belajar kebeberapa orang guru atau ke
beberapa surau. . Usaha untuk mencari
ilmu agama Islam ke luar nagari atau bahkan ke luar daerah Minangkabau dapat
terjadi dalam kehidupan masyarakat disebabkan oleh budaya dan tradisi merantau
yang hidup sudah cukup lama bagi masyarakat Minangkbau. Dalam pepatah adat
Minangkabau terkenal dengan sebutan “karatau
madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu dek di rumah
baguno balun”. Makna yang terkandung dalam pepatah adat tersebut adalah
setiap laki=laki Minang yang telah bernajak dewasa akan senantiasa merantau
guna menuntut ilmu yang nantinya akan didedikasikan di kampung halaman mereka
masing-masing.
Peran dan fungsi surau
seperti diuraikan di atas terus berlangsung sampai zaman colonial Belanda dan
Jepang. Surau-surau tetap mempertahankan eksistensinya di zaman penjajahan.
Cengkraman aturan kolonial Belanda tentang pendidikan pribumi tidak terlalu
bepengaruh terhadap surau-surau di Minangkabau. Keberadaan surau sebagai lembaga pendidikan agama
Islam semakin menunjukkan eksistensi sebagai agen pembaharuan terutama dizaman
pergerakan kemerdekaan. Seperti apa yang disampaiakn oleh Azyumardi azra di
atas bahwa salah satu fungsi surau tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama tetapi juga sebaga lembaga
pendidikan pendidikan umum meliputi pendidikan sosial/ adat maupun ekonomi dan
politik.
Maka kalau kita telusuri perubahan-perubahan sosial, budaya
dan politik di Minangkabau akan kita temukan benang merahnya dengan surau. Mulai dari gerakan pemurnian
ajaran Islam yang kemudian menjelma menjadi perang Paderi dan Perang Minangkau
yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol, perang blateng
atau perang pajak tahun 1918 yang lebih dikenal dengan perang Kamang sampai
dengan tokoh-tokoh nasional yang berasal dari Minangkabau di era pergerakan
nasional dan perang kemerdekaan Indoneisa memiliki kaitan dan keterikatan
dengan surau tempat pendidikan
menempuh pendidikan sebelumnya.
Adanya surau-surau
yang memiliki murid dari luar nagari atau luar daerah Minangkabau memberikan
gamabaran bahwa proses perkembangan Islam di Minangkabau tidak terhenti pada
proses dakwah semata, melainkan jauh lebih dari itu, Islam berkembang di
Minangkabau adalah melalui proses belajar oleh masyarakat Minangkabau. Islam
dipelajari, dikembangkan dan pada akhirnya Islam itu menjadi jati diri
masyarakat Minangkabau. Jati diri masyarakat Minangkabau ini lebih dikenal
dengan sebutan “adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah.” Maksud
dari jargon adat tersebut adalah menyatakan adat Minangkabau tersebut
didasarkan kepada aturan dan ajaran agama (syarak)
Islam, sementara syarak itu sendiri
berdasarkan kepada kitabullah dalam hal ini al-qur’an.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa
perkembangan Islam di Minangkabau tidak terlepas dari peran dan fungsi surau bagi masyarakat Minangkabau. Cepatnya
proses islamisasi di Minangkabau tidak terlepas dari peran dan fungsi surau dalam system sosial masyarakat
Minangkabau. Peran surau tidak hanya
dalam proses penyebaran agama Islam atau islamisasi di Minangkabau, melainkan surau telah menjdikan Islam sebagai jati
diri masyarakat Minangkabau.
Meskipun di era pendidikan modern keberadaan surau mulai tergerus oleh pengaruh
pendidikan terutama pendidikan barat, masyarakat Minangkabau memiki kerinduan
akan peran dan fungsi surau yang
pernah ada dalam kehidupan mereka. Surau
dalam artian tempat belajar mengaji aatau belajar membaca al-qur’an dan
ilmu-ilmu dasar agama sudah sangat sulit kita temukan di nagari-nagari di
Minangkabau. Peran surau seperti ini
kini mulai digantikan oleh taman pendidikan al-qur’an (TPA) dan Madrasah Diniah
Awaliah (MDA).
Tidak hany sekedar nama dan sebutan, proses pembelajaran di
TPA dan MDA pun jauh berbeda dengan surau.
Di TPA dan MDA proses belajar terjadi sore hari sampai menjelang magrib. Tidak
adalagi proses belajar pada malam hari seperti apa yang terjadi pada institusi surau sebelumnya. Sementara surau-surau besar seperti surau-surau inyiak saat ini bermetamova
menjadi lembaga pendidikan Islam formal dengan nama Tarbiyah atau Tawalib, seperti Madrasah
Tarbiyah Canduang (surau inyiak canduang),
Tawalib Parabek (surau inyiak parabek) dan bebagai Tarbiyah lainnya. Di
Tarbiyah dan Tawalib murid-murid yang belajar di lembaga tersebut tidak lagi
tinggal dipemukiman penduduk melainkan tinggal di asarama yang sudah disediakan
oleh lembaga atau sama dengan mondok seperti yang di pondok-pondok pesntren.
DAFTAR
BACAAN
Azra,Azumardi: Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi
menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999)
Burhanuddin, Jajat, Dina, Afrianty, Mencetak
Muslim Modern Peta Pendidikan
Islam Indonesia, Jakarta : Rajawali, 2006
Finta, Rosy Sari: Lembaga Pendidikan
Surau, Kediri 2000)
Nizar, Syamsul, Memperbincangkan
Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
Tentang Islam, Jakarta : Kencana, 2008
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,1996)
Yunus, Mahmud: Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: hidakarya
Agung,1985)
http://azkyanzblogspot/2011/05/sejarah masuk-dan-berkembang islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar